Klasik
Walaupun pemikiran‐pemikiran
tentang ekonomi sudah sangat berkembang pada abad ke‐15, pada saat terjadinya revolusi pertanian di Eropa, tetapi pengakuan
terhadap ilmu ekonomi sabagai cabang tersendiri baru diberikan pada abad ke‐18, setelah munculnya tokoh Adam Smith dalam percaturan ekonomi. Adam
Smith (1729‐ 1790) tidak disangsikan lagi merupakan tokoh kunci
dari aliran ekonomi yang kemudian disebut sebagai aliran Klasik.
Aliran atau mazhab yang dikembangkan oleh Adam Smith
disebut mazhab Klasik disebabkan gagasan‐gagasan yang ia
tulis sebetulnya sudah banyak dibahas dan dibicarakan oleh pakar‐pakar ekonomi jauh sebelumnya. Misalnya soal paham individualisme, tidak
banyak berbeda dengan faham hedonisme yang dikembangkan oleh Epicurus pada masa
Yunani Kuno. Begitu juga pendapat tentang agar pemerintah melakukan campur
tangan seminimal mungkin dalam perekonomian (laissez faire‐laissez passer), sudah dibicarakan oleh Francis Quesney sebelumnya.
Karena gagasan‐gagasan Smith banyak yang sudah klasik, oleh “musuh
bebuyutannya” Karl Marx aliran yang dikembangkan kembali oleh Smith ini disebut
dengan Mazhab Klasik (Deliarnov, 1995).
Ahli‐ahli ekonomi
Klasik, yaitu ahli‐ahli ekonomi yang hidup diantara masanya Adam Smith
dan Keynes (1936) sangat menekankan tentang peranan sistem peranan pasar bebas
sebagai pengatur kegiatan ekonomi yang efisien. Pandangan yang menyokong
penggunaan sistem ini dalam mengatur kegiatan ekonomi pertama kali dikemukakan
dalam buku Smith yang diterbitkan pada tahun 1776 dengan judul: An Inquiry
into the Nature and Causes of the Wealth of Nations atau lebih dikenal
dengan The Wealth of Nations. Dalam buku ini Smith memperkenalkan konsep
invisible hand atau tangan gaib yang mampu mengatur kegiatan
perekonomian secara efisien.
Yang dimaksud dengan invisible hand adalah
sistem pasar, dimana penjual dan pembeli berinteraksi dalam berbagai kegiatan
ekonomi untuk menentukan barang dan jasa yang perlu diproduksi dalam
masyarakat. Dalam interaksi itu, (1) para pembeli akan berusaha mencapai
kepuasan maksimum dalam menggunakan pendapatannya, dan (2) para penjual akan
berusaha mencapai keuntungan maksimum dalam menggunakan faktor-faktor produksi
yang tersedia. Berdasarkan motivasi tersebut ahli ekonomi Klasik yakin sistem
pasar bebas akan dapat menciptakan efisiensi yang maksimal dalam setiap
kegiatan ekonomi. Secara agregat tendensi ini akan menyebabkan efisiensi yang
tinggi dalam keseluruhan kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi yang teguh
dalam jangka panjang (Sukirno, 2005).
Ahli‐ahli ekonomi
Klasik berkeyakinan dalam perekonomian akan selalu tercapai keadaan kesempatan
kerja penuh atau full employment. Ini tidak berarti bahwa pengangguran
tidak pernah terwujud. Pengangguran tenaga kerja dapat berlaku dalam setiap
perekonomian, tetapi menurut ahli‐ahli ekonomi
Klasik, masalah itu hanyalah bersifat sementara. Sehingga apabila pengangguran
terwujud maka akan terjadi penyesuaian‐penyesuaian
pada pasar yang akan menyebabkan kembalinya tingkat kesempatan kerja penuh.
Penyesuaian itu berlaku dalam pasar barang, pasar financial dan tenaga kerja.
Keyakinan itu didasarkan pada pandangan bahwa di dalam
perekonomian tidak akan terdapat kekurangan permintaan. Ini diungkapkan dengan
jelas oleh ekonom klasik Jean Baptise Say (1767‐1832): “supply
creates its own demand”. Menurut pendapatnya dalam setiap perekonomian
jarang sekali terjadi masalah kelebihan produksi. Kelebihan produksi, apabila
terjadi adalah masalah sementara. Mekanisme pasar akan membuat penyesuaian
sehingga akhirnya jumlah produksi akan turun disektor yang mengalami kelebihan
dan akan naik di sektor yang mengalami kelebihan permintaan. Pendapat ini tidak
hanya berlaku pada kegiatan ekonomi yang subsistem, yaitu kegiatan ekonomi yang
hanya melibatkan dua sektor dan penerima pendapatan tidak menabung dan para
pengusaha tidak melakukan penanaman modal sehingga nilai produksi yang
diciptakan sektor perusahaan akan selalu sama dengan nilai seluruh pengeluaran
yang dilakukan oleh sektor rumah tangga, tepai juga berlaku pada kegiatan ekonomi
modern.
Keyakinan tersebut didasarkan pada keyakinan mereka
terhadap fleksibilitas tingkat suku bunga yang akan menjamin bahwa pada
akhirnya keinginan orang untuk menabung adalah sama dengan keinginan perusahaan
untuk melakukan investasi. Sebagai akibatnya: pada tingkat kesempatan kerja
penuh, permintaan agregat akan selalu sama dengan penawaran agregat.
Disamping itu keadaan perekonomian yang selalu
mencapai kesempatan kerja penuh disebabkan oleh fleksibilitas tingkat upah di
pasar tenaga kerja. Dalam analisis makro ekonomi klasik tingkat upah ditentukan
oleh permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja akan
menurunkan tingkat upah dan kekurangan tenaga kerja akan meningkatkan upah.
Fleksibilitas ini akan menyebabkan pada suatu tingkat upah, penawaran tenaga
kerja akan selalu sama dengan permintaan tenaga kerja suatu keadaan yang
menggambarkan pengangguran tidak berlaku (kesempatan kerja penuh tercapai).
Karena perekonomian selalu beroperasi pada kesanggupan
yang paling maksimum yaitu mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh, maka
Menurut ahli-ahli ekonomi Klasik tingkat kegiatan ekonomi akan ditentukan oleh
jumlah dan kualitas faktor‐faktor produksi
yang tersedia dalam perekonomian. Faktor‐faktor tersebut
adalah: Jumlah Barang Modal (K), Tenaga Kerja (L), Kekayaan Alam (Q), Teknologi
(T).
Dengan demikian tingkat kegiatan ekonomi atau
pendapatan nasional dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
Y = f ( K, L, Q, T )
Keynes
Dalam tahun 1929‐1932 ekonomi
dunia menghadapi masalah depresiasi yang sangat serius. Tingkat produksi
nasional di negara‐negara maju pada tahun 1932 adalah jauh di bawah
tingkat yang dicapai pada tahun 1929. Sebanyak 20‐30 persen
tenaga kerja di negara‐negara maju dalam keadaan menganggur.
Keynes berpendapat bahwa penggunaan tenaga kerja penuh
adalah keadaan yang jarang terjadi, dan hal itu disebabkan kerena kekurangan
permintaan agregat yang wujud dalam perekonomian. Perbedaan pendapat yang
sangat bertentangan di antara Keynes dengan ahli‐ahli ekonomi
Klasik ini bersumber dari perbedaan di antara mereka dalam dua persoalan
berikut: (1) faktor‐faktor yang menentukan tingkat tabungan dan investasi
dalam perekonomian (2) sifat‐sifat perkaitan
di antara tingkat upah dengan tenaga oleh pengusaha.
Pandangan Keynes tidak sependapat dengan pandangan
ahli‐ahli ekonomi Klasik yang menyatakan bahwa tingkat
tabungan dan investasi sepenuhnya ditentukan oleh tingkat bunga, dan perubahan‐perubahan dalam tingkat bunga akan menyebabkan tabungan yang tercipta
akan sama dengan investasi yang dilakukan oleh para pengusaha. Menurut Keynes
besar kecilnya tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga bukan tergantung pada
tinggi rendahnya tingkat bunga. Akan tetapi ia terutama tergantung pada besar kecilnya
pendapatan yang diterima oleh rumahtangga.
Disamping itu Keynes tidak yakin bahwa jumlah
investasi yang dilakukan para pengusaha sepenuhnya ditentukan oleh tingkat
bunga. Keynes berpendapat bahwa disamping tinggi rendahnya tingkat bunga ada
faktor‐faktor penting lainnya yang menjadi pertimbangan untuk
melakukan investasi, seperti keadaan ekonomi pada masa kini, ramalan
perkembangan ekonomi masa yang akan datang, dan perkembangan teknologi.
Berdasarkan keyakinan tersebut, maka Keynes
berpendapat bahwa tidak selalu terjamin terjadi kesamaan antara jumlah tabungan
dan jumlah investasi yang dilakukan oleh para pengusaha. Menurut pendapat
Keynes, pada umumnya investasi yang dilakukan oleh para pengusaha adalah lebih
kecil dari jumlah tabungan yang dilakukan oleh rumahtangga. Oleh karenya
permintaan agregat dalam perekonomian adalah lebih rendah dari produksi barang‐barang dan jasa‐jasa. Kekurangan dalam permintaan agregat ini akan
menimbulkan pengangguran dalam perekonomian.
Disamping karena kekurangan dalam permintaan agregat
atau pembelanjaan agregat, pandangan Keynes bahwa pengangguran kerap terwujud
dalam perekonomian adalah didasarkan pula pada keadaan pasar tenaga kerja.
Menurut Keynes tingkat upah tenaga kerja adalah tidak fleksibel tetapi rigid
– yaitu tidak mudah berubah, dan terutama sukar untuk diturunkan ke bawah.
Dengan perkataan lain apabila berlaku keadaaan dimana penawaran tenaga kerja
melebihi permintaan sehingga pengangguran berlaku, tingkat upah tidak akan
mengalami penurunan sehingga penawaran dan permintaan tenaga kerja akan
seimbang kembali.
Oleh karena upah sukar untuk diturunkan maka kelebihan
penawaran tenaga kerja akan terus berlaku dan sistem pasar bebas tidak akan
dapat mengatasi masalah tersebut. Berdasarkan kritiknya diatas Keynes
berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian‐penyesuaian yang akan menciptakan tingkat kesempatan kerja penuh. Untuk
mencapai keadaan itu diperlukan peranan atau kebijakan‐kebijakan pemerintah.
Jika menurut ahli‐ahli ekonomi
Klasik produk nasional yang diwujudkan oleh perekonomian ditentukan oleh segi
penawaran – yaitu bergantung pada kemampuan faktor‐faktor produksi menghasilkan dan menawarkan barang dan jasa dalam
perekonomian, maka menurut Keynes faktor penentu kegiatan perekonomian terutama
bergantung pada segi permintaan, yaitu bergantung pada pembelanjaan atau
pengeluaran agregat yang dilakukan dalam perekonomian. Semakin besar
perbelanjaan agregat yang dilakukan dalam perekonomian, semakin tinggi tingkat
kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja yang dicapai.
Dalam perekonomian modern pegeluaran agregat dibedakan
dalam empat sektor, yaitu: pengeluaran rumah tangga, pengeluaran swasta,
penegeluaran pemerintah, dan ekspor bersih yaitu ekspor dikurangi dengan impor.
Dengan demikian tingkat kegiatan ekonomi atau pendapatan nasional dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
Y = C + I + G + ( X – N )
Keynesian (Harrod‐Domar)
Secara terpisah Sir Roy F. Harrod (Oxford
University) dari Inggris dan Evsey Domar (Massachussets Institute of
Technology) dari Amerika Serikat mengembangkan teori pertumbuhan yang
bersamaan pandangannya. Oleh sebab itu sekarang ini teori tersebut dikenal
sebagai teori Harrod‐Domar.
Teori ini mengembangkan analisis Keynes dengan
memasukkan masalah-masalah ekonomi jangka panjang, serta berusaha menunjukkan
syarat yang dibutuhkan agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang dengan
mantap (steady growth) (Arsyad, 1997).
Teori ini pada dasarnya melengkapi analisis keynes
mengenai penentuan tingkat kegioatan ekonomi. dalam analisis Harrod‐Domar yang menjadi pokok persoalan analisis adalah: apakah syarat yang
diperlukan agar pertumbuhan ekonomi akan terus menerus teguh pada masa depan.
Untuk menunjukkan hubungan di antara analisis keynes
dengan teori Harrod‐ Domar terlebih dahulu akan diperhatikan kembali teori
keseimbangan kegiatan perekonomian yang dikemukakan dalam teori keynes. Toeri
keynes pada hakekatnya menerangkan bahwa pembelanjaan agregat akan menentukan
tingkat kegiatan perekonomian. Dalam perekonomian dua sektor pembelanjaan
agregat terdiri dari konsumsi rumah tangga dan investasi perusahaan. Analisis
yang dikembangkan oleh keynes menunjukkan kepada kita bagaimana konsumsi rumah
tangga dan investasi perusahaan tersebut akan menentukan tingkat pendapatan
nasional. Analisis Harrod‐Domar maju
selangkah lagi dari keadaan ini.
Teori Harrod‐Domar
mengingatkan kita bahwa sebagai akibat investasi yang dilakukan tersebut pada
masa berikutnya kapasitas barang‐barang modal
dalam perekonomian akan bertambah. Teori Harrod‐Domar
menunjukkan bahwa jawaban kepada persoalan ini relatif sederhana, yaitu agar
seluruh barang modal yang tersedia digunakan sepenuhnya, permintaan agregat
haruslah bertambah sebanyak kenaikan kapasitas barang‐barang modal yang telah terwujud sebagai akibat dari investasi di masa
lalu.
Dalam perekonomian dua sektor pertambahan pembelanjaan
agregat terutama harus terwujud dari kenaikan investasi. Berarti untuk menjamin
pertumbuhan ekonomi yang teguh, investasi harus terus menerus mengalami
pertambahan dari tahun ke tahun. Sekiranya keadaan ini tidak berlaku
pertumbuhan ekonomi akan mengalami perlambatan dan mungkin akan menghadapi
resesi.
Inti dari teori Harrod‐Domar adalah
agar bisa tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian haruslah menabung dan
menginvestasikan sebanyak mungkin dari GDP‐nya. Semakin
banyak yang dapat ditabung dan kemudian diinvestasikan, maka laju pertumbuhan
itu akan semakin cepat (Todaro, 1998).
Neo‐Klasik (Solow)
Teori pertumbuhan ekonomi Neo‐Klasik berkembang sejak tahun 1950‐an. Teori ini
berkembang berdasarkan analisis‐analisis
mengenai pertumbuhan ekonomi menurut pandangan ekonomi Klasik. Ekonom yang
menjadi perintis dalam mengembangkan teori tersebut adalah Robert Solow (Massuchussets
Institute of Technology).
Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari
formulasi Harrod‐ Domar, dengan menambah faktor ke dua, yakni tenaga
kerja, serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yakni teknologi,
kedalam persamaan pertumbuhan (growth equation) (Todaro, 2000).
Dalam analisis Neo-Klasik diyakini bahwa perkembangan
faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi merupakan faktor utama yang
menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi pada suatu masa tertentu dan
perkembangannya dari satu waktu ke waktu lainnya. Dengan demikian, pada
hakekatnya ia tidak berbeda dengan pandangan ahli-ahli ekonomi klasik yang juga
berpendapat bahwa perkembangan faktor-faktor produksi, terutama tenaga kerja
dan modal, dan perkembangan teknologi merupakan faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi.
Menurut teori ini, faktor kemajuan teknologi
ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang, dan tinggi-rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh solow maupun
para teoritis lainnya diasumsikan bersifat eksogen, atau selalu dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor (Todaro, 2000).
Residual tersebut juga disebut dengan total factor
productivity, yaitu tingkat pertumbuhan produktivitas, faktor produksi yang
tidak dapat lagi dikelompokkan sebagai kontribusi dari modal atau tenaga kerja.
Meskipun namanya terkesan remeh, yakni residu atau “sisa”, namun peningkatan
GNP residu ini menyumbang 50 persen pertumbuhan ekonomi sepanjang sejarah
negara-negara industri maju. Dalam ungkapan kalimat yang lebih longgar, teori
Neo-Klasik berpendapat bahwasannya sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut
bersumber dari hal-hal yang bersifat “eksogen” atau proses-proses
kemajuan teknologi yang sepenuhnya independen (Todaro, 1998).
Usaha untuk memperbaiki kekurangan model pertumbuhan
solow, dinyatakan dengan memecah total factor productivity tersebut
dengan memasukkan variabel lain, dimana variabel ini dapat menjelaskan
pertumbuhan yang terjadi. Model pertumbuhan yang demikian disebut dengan model
pertumbuhan endogen (Endogenous Growth Model).
RUJUKAN
- Ardito Bninadi. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dan Luar Jawa. Ekonomi Pembangunan. Vol.8 No.1, Juni 2003, hlm: 39-48
- Boediono. 1982. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
- Bradley, Rebecca and Gans, Joshua S. 1996. Growth in Australian Cities, The Economic Record, The Economic Society of Australia, Vol 74 (226)
- Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
- Didik J. Rachbini. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo
- Dronbusch, Fischer, Startz. 2004. Makroekonomi. Jakarta: PT. Media Global Edukasi
- Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics, 4th Ed. Singapore: McGraw-Hill International Edition
- Guritno Mangkoesoebroto. 1993. Ekonomi Publik. Ed. 3, Yogyakarta: BPFE
- Lincolin Arsyad. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Ed.2, Yogyakarta: BPFE
- Malecki.1991. Technology and Economic Development: The Dinamics of Lokal, Regional and Natural Change, New York: John Wiley &Sonc, INC
- Mankiw, Gregory. 2003. makroekonomi, Ed. 5, Jakarta: Erlangga
- Meier, G.M. 1995. Leading Issue in Economic Development. 6th Ed, New York: Oxford University Press
- Moeljarto T. 1995. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis, Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana
- Mudrajad Kuncoro. 2001. Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan Ekonomi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- _________. 2002. Analisis spasial dan regional, studi aglomerasidan kluster industri indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- Nasyith Majidi, 1997. Anggaran Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah, PRISMA, LPFE-UI
- Paul Sihotang. 2001. Pengantar Perekonomian Regional. Jakarta: LPFE-UI
- Payaman J. Simanjuntak. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Ed. 2. Jakarta: LPFE-UI
- Richard T. Froyen, 2002. Macroeconomic: Theories and Policies. 7th Ed, New York: Prentice Hall International, Inc
- Suahazil Nazara. 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia, Suatu Aplikasi Fungsi Produksi Agregat Indonesia tahun 1985-1991. Bisnis dan Ekonomi. Vol. 7 No.5
- Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Ed.2, Jakarta: Rajawali Pers
- Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D.1996. Makroekonomi. Ed.11, Jakarta: Erlangga
- Soelistyo, Sudarsono dan A. Sudarman. 1981. Prospek Kesempatan Kerja dan Pemerataan Pendapatan dalam Repelita III, dalam Thee Kian Wie (Ed.), Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Lembaga Peneliti, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1981, hlm: 53-77
- Sutarno dan Mudrajad Kuncoro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas 1993-2000, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 8 No. 2, Desember 2003, hlm: 97-100
- Todaro, M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ed.7, Jakarta: Erlangga
- Yuwono Prawisetoto, 2002, Desentralisasi Fiskal Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 2 Agustus, hlm: 132-143.