Ads 468x60px

.

Monday 7 November 2011

KEBIJAKAN MONETER


1. Definisi Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi untuk tumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi. Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka kebijakan yang diambil adalah kebijakan ekspansif, sedangkan kebijakan moneter kontraktif dilakukan dengan mengurangi jumlah uang beredar atau yang dikenal dengan kebijakan uang ketat (tight money policy) (Rahardja dan Manurung, 2002).

2. Instrumen Kebijakan Moneter
Ada tiga instrumen utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar, yaitu: Operasi Pasar terbuka (open market operation), fasilitas diskonto (discount rate), dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio). Di luar ketiga instrumen tersebut pemerintah dapat melakukan imbauan moral (moral suation).
a. Operasi pasar terbuka (open market operation)
Operasi pasar terbuka adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government securities). Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual surat-surat berharga (open market selling). Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Sebaliknya, jika ingin menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual kembali surat-surat berharga tersebut (open market buying). Guna mengefektifkan operasi pasar terbuka ini, Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrumen tersebut dengan menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing instrumen sehingga saat ini dikenal SBI Repo atau SBPU repo.
b. Fasilitas diskonto (discount rate)
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam kondisi tertentu, bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka harus meminjam kepada bank sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
c. Rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang beredar. Jika rasio cadangan diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya.

3. Kebijakan Moneter dan Keseimbangan Ekonomi: Analisis IS-LM
Pengaruh kebijakan moneter terhadap keseimbangan ekonomi Kurva IS menggambarkan kondisi keseimbangan pasar barang dan jasa, sedangkan kurva LM menggambarkan kondisi keseimbangan di pasar uang. Kebijakan pemerintah untuk mengubah jumlah uang beredar dalam masyarakat akan menggeser kurva LM dan berpengaruh terhadap perekonomian, karena mengubah titik potong kurva IS-LM yang berarti mengubah titik keseimbangan ekonomi. Dalam perekonomian pasar, kenaikan tingkat bunga mengindikasikan telah terjadinya kelebihan permintaan investasi, yang akibatnya dapat dilihat pada dua sisi:
1) sisi output kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan ada beberapa rencana investasi yang dibatalkan, sebagai akibatnya pertambahan kapasitas produksi menjadi lebih kecil.
2) sisi biaya kenaikan tingkat bunga akan menaikkan biaya produksi dikarenakan naiknya biaya
modal.
Dari kedua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat bunga akan memicu terjadinya inflasi.

4. Penerapan Kebijakan Moneter yang Optimal
Menurut Solikin (2005), strategi pemilihan instrumen, apakah uang beredar atau suku bunga, dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan, apakah stabilisasi output atau harga, dapat dilakukan melalui beberapa cara, dimana hal tersebut sangat terkait dengan pemilihan langkah kebijakan yang tepat dalam merespons fluktuasi perekonomian. Beberapa latar belakang pemikiran juga mengimplikasikan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan yang berorientasi stabilitas (stabilization policy), upaya untuk mempengaruhi policy variables dapat dilakukan dengan baik dengan melandaskan pada kaidah (rules) yang memperhitungkan adanya feed back yang bersifat tetap dalam hubungan antar variabel ekonomi.
Strategi kebijakan tersebut merupakan alternatif dari strategi kebijakan aktif atau discretion, yang lebih didasarkan pada penilaian dan pertimbangan tertentu (fine tuning) dari pengambil kebijakan. Pemahaman alternatif dari hal tersebut adalah bahwa discretion adalah strategi yang tidak mengikuti pola rules (anti- rules).
Sejalan dengan adanya permasalahan ketidakstabilan keterkaitan antara perkembangan besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan (perkembangan output), muncul bentuk monetary policy rule yang semakin mendapatkan perhatian dewasa ini, yaitu interest rate rule atau Taylor rule, dimana perkembangan suku bunga mencerminkan respons dari pekembangan output dan inflasi (Taylor, 1993).
Menurut Ball (1997) dan Svensson (1997), versi umum dari Tayor rule tersebut pada dasarnya dapat diturunkan berdasarkan langkah optimisasi oleh bank sentral dengan memperhitungkan Kurva Phillips (backward-looking) dari sisi penawaran dan kurva IS dinamis dari sisi permintaan. Namun demikian, persamaan Taylor rule tersebut pada dasarnya tidak mendasarkan pada orientasi forward-looking. Sementara itu, dalam konteks perekonomian terbuka, persamaan Taylor rule dapat dimodifikasi dengan memperhitungkan variabel lain, khususnya perubahan nilai tukar sebagai akibat pengaruh variabel eksogen tertentu (Ball, 1997).
Pada dasarnya alternatif penentuan respons kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menggunakan rules atau dengan menggunakan discretion. Konsensus yang diambil setelah melalui perdebatan yang panjang diantara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua pola penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pola discretion.
Di sisi lain, beberapa pola rules diyakini sebagai suatu prasyarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang sebaliknya.
Menurut McCallum (2001) dalam Solikin, dalam policy rule yang dikenal secara umum, dapat dibedakan antara monetary growth rule dan interest rate rule, yang didalamnya terdapat dua pokok pemikiran. Pertama, bahwa disain policy rule pada dasarnya merefleksikan keterkaitan antara sasaran akhir kebijakan (perkembangan output dan harga) dengan sasaran operasional atau instrumen kebijakan (perkembangan besaran moneter yaitu uang primer dan suku bunga jangka pendek).
Umumnya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis GDP nominal targeting, maka monetary growth rule menjadi pilihan. Sebaliknya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation targeting, maka interest rule menjadi pilihan.
Kedua, dalam analisis kebijakan moneter, policy rule tidak mesti atau harus mencerminkan perilaku optimum dari bank sentral, tergantung pada tujuan analisis. Apabila tujuan analisis adalah mencari kebijakan yang optimal, maka disain policy rule seyogyanya dihasilkan dari langkah optimalisasi yang mengacu pada fungsi tujuan bank sentral, yang tentunya dapat didasarkan pada perilaku atau fungsi utilitas masyarakat; dimana dalam praktek, tidak ada satu pun bank sentral yang menyatakan fungsi tujuan tersebut secara tegas. Dengan demikian, tidak semua analisis yang disarankan untuk dipakai harus mengasumsikan adanya langkah optimal dari bank sentral. Dalam hal ini, diyakini bahwa analisis positif yang mengkaji pengaruh dari hypothetical rules dari beberapa alternatif pendekatan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat.

RUJUKAN

  1. Ball, Christopher P and Javier Rayes, 2004, “Inflation Targeting or Fear of Floating in Disguise: The Case of Mexico” in International Journal of Finance and Economics. January.
  2. Ball, L. 1997. Efficient Rule for Monetary Policy, NBER Working Paper No. 5952.
  3. Manurung, Rahardja. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia.
  4. Solikin. 2005. Fluktuasi Makroekonomi dan Respon Kebijakan yang Optimal di Indonesia. (Disertasi tidak dipublikasikan). Universitas Indonesia.
  5. Taylor, John B. 2001.” The Role of Exchange Rate in Monetary Policy Rules” in The American Economic Review.
  6. ______. 1993. “Discretion versus Policy Rules in Practice” Carnegie-Rochester Conferences Series on Public Policy, 39.
  7. ______. 1999. Monetary Policy Rules, NBER Conference Report. Chicago: The University of Chicago Press.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

ARTIKEL TERKAIT