Ads 468x60px

.

Tuesday 15 November 2011

PENGERTIAN TURNAROUND

Turnaround didefinisikan sebagai pembalikan arah perusahaan dari penurunan kinerja (Schendel, Patton dan Riggs dalam Bruton et al (2003). Menurut Supardi dan Mastuti (2003), turnaround diambil ketika manajemen mengalami kegagalan dalam membesarkan perusahaan sehingga prospek perusahaan menjadi tidak jelas dan mengalami krisis berkepanjangan, sehingga pemilik dan manajemen berusaha keras memutar arah organisasi.

Turnaround yang sukses adalah sebuah proses yang kompleks meliputi kombinasi dari faktor lingkungan, sumber daya internal, strategi perusahaan yang relevan pada berbagai tahap penurunan kinerja, yang menghasilkan peningkatan kinerja keuangan /recovery (Arogyaswamy, 1995 dalam Francis dan Desai, 2005). Recovery dari financial distress didefinisikan sebagai cash flow yang lebih besar daripada hutang jangka pendek. Beberapa peneliti meyakini bahwa financial distress dapat diatasi ketika dilakukan tindakan yang cepat dalam perubahan manajemen dan pengaturan perusahaan mengenai strategi organisasi dan struktur perusahaan (Jensen 1989, Wisk 1990, Ofek 1993 dalam Bergstrom, Sundgren 2002). Pada tahap awal ketika terjadi hambatan cashflow, harus segera dilakukan tindakan melalui efisiensi.
Manajemen harus memutuskan cara untuk melaksanakan proses turnaround. Menurut Davis dan Hofer (dalam Bruton et al, 2003) terdapat 2 macam strategi turnaround yang pernah dilakukan di negara-negara barat yaitu strategi operasi dan strategik. Turnaround yang bersifat strategik difokuskan pada perubahan arah strategi perusahaan, positioning, aliansi, dan jenis produk, sedangkan turnaround yang bersifat operasional antara lain pengurangan karyawan dan retrenchment.
Penyebab financial distress juga mempengaruhi keefektifan upaya turnaround yang dilakukan, misalnya pada hasil penelitian Whitaker (1999), upaya perbaikan manajemen berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan turnaround pada perusahaan yang mengalami financial distress akibat kelemahan manajemen tetapi tidak signifikan pada perusahaan yang mengalami financial distress akibat kelesuan aktifitas industri.
Demikian juga peningkatan kondisi ekonomi adalah determinan yang berpengaruh signifikan terhadap recovery kinerja keuangan perusahaan yang mengalami financial distress akibat economic distress bukan perusahaan yang mengalami financial distress akibat kegagalan manajemen. Peneliti lain yaitu Jensen (1989) (dalam Whitaker, 1999) juga berpendapat bahwa aksi manajemen dengan melakukan efisiensi akan meningkatkan kinerja perusahaan pada perusahaan yang mengalami financial distress akibat kelemahan manajemen.

Proses Turnaround
Schedel et.al. (1976) dalam Smith & Graves (2005) menyatakan bahwa strategi recovery dapat diklasifikasikan menjadi 2:
1. Orientasi efisiensi (Efficiency oriented)
2. Orientasi usaha (Entrepreneurial oriented)
Jika penurunan kinerja perusahaan berasal dari operasi yang tidak efisien maka perusahaan harus mengadopsi strategi recovery yang berorientasi pada efisiensi (efficiency oriented strategy) seperti pemotongan biaya dan pengurangan asset. Jika strategi perusahaan tidak relevan lagi maka perusahaan harus membuat perubahan yang cocok dengan pasar yang dihadapi dengan mengadopsi strategi yang berorientasi pada usaha (entrepreneurial oriented strategies) Bibeault (1982). Pearce dan Robbins (1993), Arogyaswamy et.all (1995) dalam Smith & Graves (2005), mengamati bahwa proses turnaround terdiri dari 2 bagian:
1. Menahan penurunan (decline stemming strategy)
2. Strategi pemulihan (recovery strategy)
Decline stemming strategy bertujuan untuk menstabilisasi kondisi keuangan perusahaan dengan pengumpulan dukungan pemegang saham, menghilangkan ketidakefisienan (efficiency oriented strategy) dan menstabilkan suasana internal perusahaan. Ketika kondisi keuangan perusahaan stabil, maka harus diputuskan strategi perbaikan/recovery yang akan diikuti membaiknya profitabilitas atau mengusahakan pertumbuhan (entrepreneurial oriented).
Dalam Smith & Graves (2005), tingkat kesuksesan pengaplikasian strategi menahan penurunan (decline stemming strategy) dipengaruhi beberapa faktor, antara lain tingkat ketahanan perusahaan terhadap distress (Pearce & Robbins, 1993; Arogyawamy et.al., 1995), ukuran perusahaan dan sumber-sumber bebas yang tersedia (White, 1989, Arogyawamy et.al, 1995).

Siklus Turnaround
Barker dan Mone (1994)(dalamFrancis dan Desai, 2005), menemukan 4 tahap kondisi selama siklus penurunan kinerja keuangan perusahaan dan turnaround, yaitu:
1. Tahap pertama perusahaan berada dalam puncak kinerja keuangan dari 2 tahun sebelumnya
2. Tahap kedua, kinerja keuangan perusahaan berada dalam titik terendah setelah megalami penurunan kinerja dan berada dalam kondisi financial distress.
3. Tahap ketiga, perusahaan dalam tahap efisiensi sumber daya setelah mengalami retrenchment
4. Tahap keempat, perusahaan berada dalam kondisi sukses dalam turnaround (terecovery) atau malah gagal (tidak terecovery).
Schendel el al (1976), Bibeault (1982), dan Poston et al (1994), mengamati siklus turnaround selama periode 8 tahun yaitu 4 tahun kinerja financial distress dan 4 tahun kinerja non financial distress. Sedangkan Chowdury dan Lang (1996), Hambrick dan Schecter (1983), Pearce dan Robbins (1993), Smith dan Gunalan (1996) menggunakan periode turnaround selama 4 tahun, yaitu 2 tahun kondisi financial distress dan 2 tahun kondisi non financial distress.

RUJUKAN
  1. Almilia, Luciana Spica dan Meliza Silvy, (2005), “Analisis Data Klasifikasi Rasio Keuangan Untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Go Public dengan Analisis Multinomial Logit”, Konferensi Nasional Akuntansi, pp. 1-18.
  2. Arthur J. Keown, John D.Martin, J.William Petty, David F.Scott Jr, (2004), Manajemen Keuangan jilid 1, Indeks Kelompok Gramedia
  3. Clas Bergstrom dan Stefan Sundgren, (2002), “Restructuring Activities and Changes in Performance Following Financial,” SNS Occasional Paper No.88, April, 2002.
  4. D. Keith Robbins, John A. Pearce II (1992), “Turnaround : Retrenchment and Recovery”, Strategic Management Journal, 13, p.287-309.
  5. Garry D.Brutton, David Ahlstrom, Johnny CC.Wan, (2003), “Turnaround in East Asian Firms : Evidence from FECC”, Strategic Management Journal, 24, p.519-540.
  6. Hanafi, Mamduh M, (2004), Manajemen Keuangan, Yogyakarta : BPFE
  7. Howard S. Rasheed, (2005), “Turnaround Strategies for Declining Small Business : The Effects of Performance and Resources”, Journal of Developmental Entrepreneurship, vol 10, 3, 239-252.
  8. James Routledge dan David Gadenne, (2000),” Financial Distress, Reorganization and Corporate Performance”, Accounting and Finance 40, p.233-260.
  9. John D.Francis, Ashay B.Desai, (2005), “Situational and Organizational Determinants of Turnaround”, Management Decision, vol 43, 9, p.1203- 1224.
  10. Kose John, Larry H.P.Lang, Jeffry Netter, (1992), “The Voluntary Restructuring of Large Firms in Response to Performance Decline”, The Journal of Finance, Vol XLVII, No.3, July.
  11. Malcolm Smith dan Christopher Graves, (2005), “Corporate Turnaround and Financial Distress,” Managerial Auditing Journal, Vol 20, No.3, pp.304-320.
  12. Vineet Agarwal dan Richard Taffler, (2002), The Distress Factor Effect in Equity Returns : Market Mispricing or Omitted Variable. JEL Classification, G12.
  13. Ramadhany, Alexander, (2004), “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Going Concern Pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Maksi, Vol. 4, pp. 146-160.
  14. Richard B. Whitaker, (1999), “The Early Stage of Financial Distress”, Journal of Economics and Finance, Vol 23, no.2, p.123-133.
  15. Shamsul Nahar Abdullah, (2006), “Board Structure and Ownership in Malaysia : The Case of Distress Listed Companies”, Corporate Governance Bradford, Vol 6, Iss.5, P582.
  16. Steven V. Campbell, (1996), “Predicting Bankruptcy Reorganization for Closely Held Firms”, Accounting Horizons, Vol 10, 3, p.12-25.
  17. Supardi, Sri Mastuti, (2003), “Validitas Penggunaan Z score Altman Untuk Menilai Kebangkrutan Pada Perusahaan Perbankan yang Go public di Bursa Efek Jakarta”, KOMPAK no.7, p.68-93.
  18. Suroso, (2006), “Investasi Pada Saham Perusahaan Yang Menghadapi Financial Distress”, Usahawan, No.2, Tahun XXXV.
  19. Thomas Mroczkowski dan Masao Hanaoka, (1997), “Effective Rightsizing Strategies in Japan and America : Is There a Convergence of Employment Practise”, Academy of management Executive, Vol 11, No.2.
  20. Walter P. Schuppe, (2005), “Leading a Turnaround”, The Secured Lender.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

ARTIKEL TERKAIT