Menurut
pengertian ilmu ekonomi, istilah pembangunan (development) secara tradisional
diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional ‐ yang kondisi‐kondisi
ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu cukup lama untuk
menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto
atau GNP (gross national product)‐nya pada
tingkat yang lebih tinggi.
Indek
ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan
adalah tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capita) atau
GNP per kapita. Indek ini pada dasarnya adalah mengukur kemampuan dari suatu negara
untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan
penduduknya. (Todaro, 2000).
Pembangunan
juga sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan
penyerapan sumber daya (employment) yang diupayakan secara terencana.
Biasanya dalam proses tersebut peranan sektor pertanian akan menurun untuk
memberi kesempatan bagi tampilnya sektor‐sektor
manufakur dan jasa‐jasa yang secara sengaja senantiasa
diupayakan agar terus berkembang. Oleh karena itu, setrategi pembangunan
biasanya berfokus pada upaya untuk menciptakan industrialisasi secara besar‐besaran
sehingga kadang kala mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian dan
daerah pedesaan pada umumnya yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Jelaslah
bahwa penerapan tolak ukur pembangunan yang murni bersifat ekonomi tersebut,
agar lebih akurat dan bermanfaat, harus didukung pula oleh indikator‐indikator
sosial (social indicators) nonekonomis.
Secara
umum, sebelum tahun 1970‐an, pembangunan
semata‐mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Tinggi
rendahnya kemajuan pembangunan di suatu negara hanya diukur berdasarkan tingkat
pertumbuhan GNP, baik secara keseluruhan maupun perkapita, yang diyakini akan
menetes dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai
peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang
diperlukan demi terciptanya distribusi hasil‐hasil pertumbuhan
ekonomi dan sosial secara lebih merata. Itulah yang secara luas dikenal sebagai
prinsip “efek penetesan ke bawah” (trickel down effect). Dengan demikian
tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan merupakan unsur yang paling diutamakan sehingga
masalah‐masalah lain seperti kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan distribusi pendapatan acapkali dinomorduakan (Todaro, 2000).
Dalam
salah satu publikasi resminya, yakni World Development Report, yang terbit
pada tahun 1991, Bank Dunia melontarkan pernyataan tegas bahwasannya: Tantangan
utama pembangunan … adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara‐negara
yang paling miskin, kualitas hidup yang lebih baik memang mensyaratkan adanya
pendapatan yang lebih tinggi – namun yang dibutuhkan bukan hanya itu.
Pendapatan
yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak syarat yang
harus dipenuhi. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan,
yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan
nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan
kesempatan, pemerataan kebebasan indivial, dan penyegaran kehidupan budaya.
Dengan
demikian pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat,
dan institusi‐institusi nasional, disamping tetap mengejar
akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta
pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan itu harus mencerminkan
perubahan total masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan,
tanpa mengabaikan kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk bergerak maju
menuju suatu kondisi kehidupan yang serba “lebih baik”, secara material maupun
spiritual (Todaro, 2000).
Lebih
lanjut Goulet mensyaratkan setidaknya tiga komponen utama untuk pembangunan:
kelangsungan hidup (life sustenance), kehormatan diri (self‐esteem) dan kebebasan
(freedom). Segi ekonomi dari pembangunan tercermin di dalam konsep “kelangsungan
hidup” ini.
Pembangunan
harus berusaha memenuhi kebutuhan sebanyak mungkin orang untuk kelangsungan
hidup: pangan, perumahan, kesehatan dan perlindungan, karena ini semua
merupakan prasyarat bagi terciptanya kualitas hidup yang layak. Tetapi
pemenuhan atas kesemuanya itu tidak demi akumulasi kekayaan dan materi. Kita
harus memiliki sandang, pangan, kesehatan dan perlindungan itu “in order to
be more”, yaitu agar kita dapat hidup layak sebagai manusia, agar kita dapat
mencapai nilai nilai pembangunan yang lain, yaitu rasa harga diri atau
kehormatan diri, suatu kualitas diri yang oleh Goulet digambarkan sebagai:
keautentikan (authenticity); identitas (identity); kemuliaan (dignity);
kehormatan (respect); dan pengakuan (recognition).
Sedangkan
komponen ketiga pembangunan versi Goulet adalah kebebasan didalam arti yang
fundamental yang meliputi: kebebasan dari pengasingan terhadap hak hidup
material yang layak; kebebasan dari perbudakan oleh manusia atas manusia;
kebebasan dari ketidakacuhan orang lain; kebebasan dari kesengsaraan dan
kemelaratan. Dengan kata lain kualitas kebebasan ini akan menyangkut perluasan
kesempatan bagi masyarakat dan anggotanya untuk menentukan pilihan mereka serta
menyangkut pula minimisasi kendala ekstern yang menghalangi usaha mereka dalam
mencapai tujuan (Moeljarto, 1995)
RUJUKAN
- Ardito Bninadi. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dan Luar Jawa. Ekonomi Pembangunan. Vol.8 No.1, Juni 2003, hlm: 39-48
- Boediono. 1982. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
- Bradley, Rebecca and Gans, Joshua S. 1996. Growth in Australian Cities, The Economic Record, The Economic Society of Australia, Vol 74 (226)
- Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
- Didik J. Rachbini. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo
- Dronbusch, Fischer, Startz. 2004. Makroekonomi. Jakarta: PT. Media Global Edukasi
- Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics, 4th Ed. Singapore: McGraw-Hill International Edition
- Guritno Mangkoesoebroto. 1993. Ekonomi Publik. Ed. 3, Yogyakarta: BPFE
- Lincolin Arsyad. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Ed.2, Yogyakarta: BPFE
- Malecki.1991. Technology and Economic Development: The Dinamics of Lokal, Regional and Natural Change, New York: John Wiley &Sonc, INC
- Mankiw, Gregory. 2003. makroekonomi, Ed. 5, Jakarta: Erlangga
- Meier, G.M. 1995. Leading Issue in Economic Development. 6th Ed, New York: Oxford University Press
- Moeljarto T. 1995. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis, Konsep, Arah dan Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana
- Mudrajad Kuncoro. 2001. Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan Ekonomi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- _________. 2002. Analisis spasial dan regional, studi aglomerasidan kluster industri indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- Nasyith Majidi, 1997. Anggaran Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah, PRISMA, LPFE-UI
- Paul Sihotang. 2001. Pengantar Perekonomian Regional. Jakarta: LPFE-UI
- Payaman J. Simanjuntak. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Ed. 2. Jakarta: LPFE-UI
- Richard T. Froyen, 2002. Macroeconomic: Theories and Policies. 7th Ed, New York: Prentice Hall International, Inc
- Suahazil Nazara. 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia, Suatu Aplikasi Fungsi Produksi Agregat Indonesia tahun 1985-1991. Bisnis dan Ekonomi. Vol. 7 No.5
- Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Ed.2, Jakarta: Rajawali Pers
- Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D.1996. Makroekonomi. Ed.11, Jakarta: Erlangga
- Soelistyo, Sudarsono dan A. Sudarman. 1981. Prospek Kesempatan Kerja dan Pemerataan Pendapatan dalam Repelita III, dalam Thee Kian Wie (Ed.), Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Lembaga Peneliti, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1981, hlm: 53-77
- Sutarno dan Mudrajad Kuncoro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas 1993-2000, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 8 No. 2, Desember 2003, hlm: 97-100
- Todaro, M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ed.7, Jakarta: Erlangga
- Yuwono Prawisetoto, 2002, Desentralisasi Fiskal Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 2 Agustus, hlm: 132-143