1. Tenaga Kerja
Sebagaimana diketahui bahwa menurut teori pertumbuhan ekonomi klasik tenaga
kerja adalah faktor yang penting dalam kegiatan perekonomian, selain faktor
modal, kekayaan alam, dan teknologi. Dalam analisis Klasik disebutkan bahwa
kegiatan perekonomian akan selalu pada posisi kesempatan kerja penuh atau full
employment, ini dikarenakan pada pandangan mereka bahwa perekonomian tidak
akan terjadi kekurangan permintaan.
Disamping
itu menurut teori ekonomi klasik keadaan perekonomian yang selalu mencapai
kesempatan kerja penuh disebabkan oleh fleksibilitas tingkat upah di pasar tenaga
kerja. Dalam analisis makroekonomi klasik tingkat upah ditentukan oleh permintaan
dan penawaran tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja akan menurunkan tingkat upah
dan kekurangan tenaga kerja akan meningkatkan upah.
Fleksibilitas
ini akan menyebabkan pada suatu tingkat upah, penawaran tenaga kerja akan
selalu sama dengan permintaan tenaga kerja suatu keadaan yang menggambarkan
pengangguran tidak berlaku (kesempatan kerja penuh tercapai). Apabila dalam
perekonomian terdapat pengangguran para penganggur akan bersedia bekerja pada
tingkat upah yang lebih rendah dari yang berlaku di pasar.
Keadaan
ini menimbulkan kekuatan‐kekuatan yang
akan menurunkan tingkat upah, dan penurunan tingkat upah ini akan memperluas
tingkat kegiatan ekonomi. Di dalam analisis mereka ahli‐ahli
ekonomi Klasik berkeyakinan: (1) para pengusaha akan mencari keuntungan
maksimum. (2) keuntungan maksimum akan dicapai pada keadaan dimana upah sama
dengan produksi fisikal marjinal.
Dalam
gambar 2.1(b) diatas ditunjukkan permintaan (DL) dan penawaran (SL dan SL’)
tenaga kerja dalam perekonomian. Misalkan pada mulanya penawaran tenaga kerja adalah
SL. Maka keseimbangan asal dari permintaan dan penawaran tenaga kerja dicapai di
titik E0. Berdasarkan keseimbangan ini tingkat upah adalah W0 dan jumlah tenaga
kerja yang digunakan adalah sebesar N0. Seterusnya misalkan dalam perekonomian terjadi
perubahan terhadap tingkat penawaran tenaga kerja. Perubahan ini digambarkan oleh
perpindahan kurva penawaran SL menjadi SL’. Sebagai akibat dari perubahan ini, pada
tingkat upah sebesar W0 jumlah tenaga kerja yang ditawarkan adalah N2, sedangkan
pengusaha hanya ingin menggunakan sebanyak N0 tenaga kerja. Dengan demikian
terjadi pengangguran sebesar N0N2. Kelebihan tenaga kerja ini akan mendorong
kemerosotan upah sehingga tingkat dimana penawaran tenaga kerja yang baru sama
dengan permintaan tenaga kerja. Keadaan itu dicapai E1, dan dengan demikian
upah adalah sebesar W1 dan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam perekonomian
adalah N1.
Sebagai
salah satu faktor penting penentu tingkat kegiatan perekonomian, maka semakin
banyak tenaga kerja yang digunakan akan semakin tinggi tingkat pendapatan
nasional yang akan dicapai.
Pada
mulanya keseimbangan pasar tenaga kerja dicapai pada titik E0 dengan tingkat
upah W0. Fungsi produksi pada titik keseimbangan ini adalah Y=f(N) dengan
tingkat pendapatan nasional sebesar Y0. Kemudian terjadi perubahan keseimbangan
pada pasar tenaga kerja yang ditandai dengan bergesernya kurva permintaan
tenaga kerja dari ND menjadi ND1 dengan tingkat upah sebesar W1. Bergesernya
titik keseimbangan pasar tenaga kerja dari titik E0 menjadi E1 akan merubah
fungsi produksi menjadi Y=f’(N) dengan tingkat pendapatan nasional sebesar Y1.
Hukum Hasil Lebih Yang Semakin
Berkurang
Hukum
hasil lebih yang semakin berkurang (the law of diminishing return to scale) merupakan
suatu hal yang tidak dapat dipisah‐pisahkan dari
teori produksi. Hukum tersebut menjelaskan sifat pokok dari hubungan diantara
tingkat produksi dan tenaga kerja yang digunakan untuk mewujudkan produksi
tersebut. Hukum hasil lebih yang semakin berkurang menyatakan bahwa apabila
faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya (tenaga kerja) terus menerus
ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak
pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi
tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif. Sifat
pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin
lambat dan akhirnya ia mencapai tingkat yang maksimum dan kemudian menurun.
Ada 3
tahap dalam hubungan antara produksi dan tenaga kerja:
1. Tahap pertama ( constan return
to scale ) : produksi margimal tenaga kerja tambahan adalah sama dengan
marginal produk tenaga kerja sebelumnya.
2. Tahap kedua ( Diminishing
return to scale) : produksi marginal tenaga kerja tambahan adalah lebih
kecil dari produksi marginal tenaga kerja sebelumnya.
3. Tahap ketiga ( Negative return
to scale ) : produksi marginal tenaga kerja tambahan adalah bernilai
negatif jika dibandingkan dengan produksi marginal tenaga kerja sebelumnya.
2. Investasi dan Pengeluaran
Pemerintah Investasi
Teori
ekonomi mengartikan atau mendefenisikan investasi sebagai: pengeluaran‐pengeluaran
untuk membeli barang‐barang modal dan peralatan‐peralatan
produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang‐barang modal
dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di
masa yang akan datang. (Sukirno, 2005).
Menurut
teori Klasik, tingkat investasi yang dilakukan akan selalu sama dengan tingkat
tabungan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat investasi dan tabungan
sama‐sama ditentukan oleh tinggi rendah suku bunga. Dalam
pemikiran ahli ekonomi klasik tingkat tabungan masyarakat dan investasi sama‐sama
ditentukan oleh tingkat suku bunga. Sifat dari keduanya adalah terbalik. Jika tabungan
bersifat: semakin tinggi suku bunga, maka semakin tinggi tingkat tabungan masyarakat.
Sedangkan investasi bersifat sebaliknya: semakin tinggi tingkat suku bunga, maka
semakin rendah investasi yang dilakukan.
Misalkan,
setelah terjadinya keseimbangan tabungan dan investasi pada titik E0, berlaku
penurunan kegairahan para penanam modal untuk melakukan investasi. Perubahan
ini digambarkan oleh pergeseran kurva permintaan dana untuk investasi dari I0 menjadi
I1. Sebagai akibat dari perubahan ini pada suku bunga r0 sebanyak S0 tabungan akan
ditawarkan dalam pasar, sedangkan investasi merosot menjadi I0’.
Kelebihan
tabungan ini akan menurunkan tingkat suku bunga. Akibatnya investasi akan lebih
tinggi dari I0 ’ dan tabungan akan lebih rendah dari S0. Keseimbangan kedua
akan dicapai di titik E1 dimana tabungan yang baru (S1) telah sama dengan
permintaan dana untuk investasi (I1). Keynes tidak sependapat dengan pandangan
ahli‐ahli ekonomi klasik yang menyatakan bahwa tingkat
tabungan dan investasi sepenuhnya ditentukan oleh tingkat bunga, dan perubahan‐perubahan
dalam tingkat bunga akan menyebabkan tabungan yang tercipta pada tingkat
penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu sama dengan investasi yang dilakukan
oleh para pengusaha. Menurut Keynes, besarnya tabungan yang dilakukan oleh
rumahtangga bukan tergantung pada tinggi rendahnya tingkat bunga. Ia terutama
tergantung kepada besar kecilnya tingkat pendapatan rumahtangga itu.
Disamping
itu Keynes tidak yakin bahwa jumlah investasi yang dilakukan para pengusaha
sepenuhnya ditentukan oleh tingkat bunga. Keynes tetap mengakui bahwa tingkat
bunga memegang peranan yang cukup menentukan di dalam pertimbangan para pengusaha
melakukan investasi. Tetapi disamping faktor itu terdapat beberapa faktor penting
lainnnya, seperti keadaan ekonomi pada masa kini, ramalan perkembangannya di
masa depan, dan luasnya perkembangan teknologi yang berlaku.
Penanaman
modal oleh para pengusaha terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu efisiensi
marginal modal dan tingkat bunga. Efisiensi marginal modal adalah tingkat pengembalian
modal yang akan diperoleh dari kegiatan investasi yang dilakukan dalam perekonomian.
Apakah pengusaha akan menanam modal atau membatalkannya tergantung kepada sifat
hubungan di antara efisien marginal modal (atau tingkat pendapatan minimal dari
penanaman modal yang dilakukan) dengan tingkat bunga.
Sekiranya
tingkat bunga lebih tinggi dari efisiensi marginal dari investasi itu, maka pengusaha
akan membatalkan rencananya untuk menanamkan modal. Seorang pengusaha baru akan
menanamkan modalnya apabila hasil dari investasinya lebih tinggi dari tingkat
bunga. Maka, dalam suatu perekonomian, besarnya jumlah investasi yang akan
dilakukan oleh para pengusaha tergantung kepada nilai penanaman modal yang
tingkat pengembalian modalnya lebih besar dari tingkat bunga.
3. Peran
Pemerintah
Ahli‐ahli
ekonomi klasik berkeyakinan sistem pasar bebas mempunyai kemampuan untuk
mengatur kegiatan ekonomi secara efisien. Fleksibilitas di berbagai pasaran
barang, di pasaran uang dan modal dan tenaga kerja akan dapat menjamin tercapainya
tingkat kegiatan ekonomi yang tinggi yaitu kesempatan kerja penuh akan selalu
tercapai dan pertumbuhan ekonomi akan berkembang dengan teguh. Ahli‐ahli ekonomi
klasik berkeyakinan bahwa pengangguran mungkin berlaku, tetapi keadaan ini merupakan
masalah yang bersifat sementara. Menurut ahli‐ahli ekonomi
klasik, dalam keadaan pengangguran, npasaran barang dan tenaga kerja akan
secara otomatis melakukan penyesuaian‐penyesuaian
yang pada akhirnya akan menyebabkan keadaan kesempatan kerja penuh tercapai
kembali. Oleh sebab itu ahli‐ahli ekonomi
klasik tidak melihat pentingnya peranan pemerintah untuk secara aktif mengatur
dan mempengaruhi kegiatan perekonomian.
Keynes
mengkritik pendapat ahli‐ahli ekonomi
Klasik yang menyatakan bahwa perekonomian akan selalu mencapai tingkat
kesempatan kerja penuh. Menurut pendapat Keynes tingkat kegiatan dalam
perekonomian ditentukan oleh pembelanjaan agregat. Pada umumnya pembelanjaan
agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat
yang diperlukan untuk mencapai tingkat kesempatan kerja penuh. Keadaan ini
disebabkan karena investasi yang dilakukan oleh para pengusaha biasanya adalah
lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian pada tingkat
kesempatan kerja penuh. Menurut pendapatnya sistem pasar bebas dan
fleksibilitas suku bunga tidak akan mewujudkankeadaan dimana investasi adalah
sama dengan tabungan yang akan diwujudkan pada kesempatan kerja penuh.
Di
samping disebabkan oleh kekurangan pembelanjaan agregat, pandangan keynes bahwa
pengangguran kerap terjadi dalam perekonomian didasarkan pula pada keadaan di
pasaran tenaga kerja, dimana tingkat upah adalah bersifat rigid yaitu
tidak mudah berubah. Karena sifat dari tingkat upah yang rigid tersebut
kelebihan penawaran tenaga kerja akan terus berlaku dan sistem pasar bebas
tidak akan dapat mengatasi masalah pengangguran yang terjadi.
Berdasarkan
pada dua kritiknya di atas Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan
dapat membuat penyesuaian‐penyesuaian
yang akan menciptakan tingkat kesempatan kerja penuh. Untuk mencapai keadaan
itu diperlukan kebijakan‐kebijakan pemerintah.
Disamping berusaha untuk mencapai tingkat kesempatan kerja penuh, kebijakan
pemerintahperlu pula untuk: (1) menstabilkan tingkat harga dan mencegah inflasi,
(2) mengukuhkan pertumbuhan ekonomi, dan (3) menjaga kesetabilan sektor luar
negeri.
Investasi dan Pengeluaran Pemerintah
dalam Pertumbuhan Ekonomi
Peran
dari investasi dan pengeluaran pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi adalah sama‐sama
meningkatkan nilai capital stock/stok modal. Semakin tinggi tingkat nilai
investasi yang terjadi, maka semakin tinggi pula cadangan kapital/modal yang
dapat digunakan dalam perekonomian.
Pentingnya
nilai investasi/tabungan yang terjadi dalam perekonomian terhadap tingkat
pertumbuhan ekonomi secara lebih jelas digambarkan oleh toeri Harrod‐Domar. Secara
terpisah Sir Roy F. Harrod (Oxford University) dari Inggris dan Evsey Domar
(Massachussets Institute of Technology) dari Amerika Serikat
mengembangkan teori pertumbuhan yang bersamaan pandangannya. Oleh sebab itu
sekarang ini teori tersebut dikenal sebagai teori Harrod‐Domar. Teori
Harrod‐Domar ini mempunyai beberapa asumsi yaitu:
1) Perekonomian dalam keadaan
pengerjaan penuh (full employment) dan barang modal dalam masyarakat
digunakan secara penuh.
2) Terdiri dari 2 sektor yaitu
sektor rumah tangga dan sektor perusahaan, berarti pemerintahan dan perdagangan
luar negeri tidak ada.
3) Besarnya tabungan masyarakat
adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional, berarti fungsi
tabungan dimulai dari titik nol.
4) Kecenderungan untuk menabung (marginal
propensity to save = MPS) besarnya tetap, demikian juga ratio antara modal‐output (capital
output ratio = COR) dan rasio pertambahan modal‐output (incremental
capital output ratio = ICOR).
Menurut
Harrod‐Domar, setiap perekonomian pada dasarnya memang harus senantiasa
untuk mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya
untuk menambah atau menggantikan barang‐barang modal
(gedung, alat-alat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun untuk
memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan
neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stok). Jika dianggap ada
hubungan ekonomis secara langsung antara besarnya stok modal (K) dan output
total (Y), maka setiap tambahan bersih terhadap stok modal (investasi baru)
akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai dengan rasio modal output
tersebut, hubungan ini dikenal dengan istilah rasio modal‐output
(COR).
Analisis
peran dari investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi juga bisa dilakukan dengan pendekatan teori Neo‐Klasik
(Solow). Dalam analisis Neo‐Klasik tingkat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi ditentukan oleh faktor‐faktor
produksi yang tersedia. Pendekatan ini merupakan pendekatan dari teori ekonomi
Klasik, dimana pendekatan Klasik lebih cenderung kepada pendekatan supply side
atau sisi penawaran.
Ada tiga
faktor pertumbuhan yang penting menurut teori Neo‐Klasik yaitu kapital,
tenaga kerja, dan tingkat teknologi yang digunakan. Jika kita asumsikan bahwa tidak
terdapat teknologi yang digunakan, maka fungsi produksi adalah:
Y = F (K,
N)
Konsep
tentang diminishing marginal product of capital pada teori di atas
adalah menjadi kunci tentang mengapa perekonomian akan mencapai steady state
daripada terus menerus tumbuh tanpa batas. Steady‐state adalah kondisi
dimana ketika pendapatan dan modal per kapita adalah konstan. Ini dikarenakan
investasi yang dibutuhkan untuk menyediakan modal untuk pekerja‐pekerja
baru dan mengganti mesin‐mesin yang
telah usang sama dengan tingkat tabungan yang dihasilkan dalam perekonomian.
Jika tabungan lebih besar dari investasi yang dibutuhkan, maka modal per tenaga
kerja akan naik dan begitu pula output. Jika tabungan kurang dari nilai investasi
yang dibutuhkan maka modal per tenaga kerja dan output akan turun.
Secara
lebih jelas adalah investasi yang dibutuhkan untuk menambah capital stok per
kapita dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi adalah bergantung pada pertambahan
penduduk dan depresiasi barang modal. Jika investasi adalah lebih besar dari
efek pertambahan jumlah penduduk dan depresiasi maka kapital stok per kapita akan
bertambah dan pertumbuhan ekonomi akan wujud dalam perekonomian.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa investasi (yang lebih besar dari
efek pertambahan penduduk dan depresiasi) akan mempengaruhi kapital stok perkapita,
meningkatnya nilai kapital stok akan meningkatkan ouput per kapita, meningkatnya
output per kapita akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
3 Mutu Sumber Daya Manusia dan
Aglomerasi Mutu Sumber Daya Manusia
Pengembangan
sumber daya manusia akhir‐akhir ini menjadi
perhatian para pakar ilmu ekonomi. Teori‐teori tentang
investasi dan kapital mulai mengalami perubahan setelah terbukti bahwa sumber
daya manusia memainkan peranan paling vital dalam pembangunan ekonomi. Banyak
negara industri maupun negara industri baru memusatkan perhatiannya pada
investasi sumber daya manusia karena terbukti merupakan faktor yang signifikan.
Seperti
yang telah dituturkan oleh Harry Oshima, bahwa negara‐negara
asia timur berkembang lebih pesat dibandingkan negara‐negara
asia tenggara (kecuali singapura) disebabkan oleh perbedaan tingkat kualitas
sumber daya manusianya. Satu sisi negara‐negara asia
timur relatif rebih miskin dalam hal sumber daya alam, bahkan dalam perang
dunia kedua dan perang korea sejumlah besar infra struktur sosial dan barang‐barang
modal mengalami kehancuran, tetapi dalam pertumbuhan ekonominya ternyata
kawasan ini lebih maju beberapa tahap di depan dari negara‐negara
asia tenggara. Ahli ekonomi Jepang ini kemudian mengambil kesimpulan bahwa
faktor yang membedakan kedua negara tersebut adalah sumber daya manusia.
(Rachbini; 2001).
Modal
manusia (human capital) disamping modal fisik dan teknologi merupakan
faktor penting penentu pembangunan ekonomi (Mankiw, Romer dan Weil (1992)),
sedangkan penentu human capital itu adalah ilmu pengetahuan. Kelebihan
ilmu pengetahuan dibandingkan faktor produksi lain adalah bahwa ilmu
pengetahuan adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak pernah berkurang.
Ini menunjukkan bahwa satu-satunya benda di dunia yang tidak pernah berkurang (diminishing)
baik dari segi kuantitas maupun kualitas walaupun ia telah digunakan
berulang-ulang adalah ilmu pengetahuan.
Hasil
studi ini menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antar
negara maju dan negara miskin bukanlah disebabkan oleh ketiadaan upaya negara
miskin dalam akses teknologi dibanding negara maju, tetapi semata-mata
disebabkan oleh kualitas rendah dari human capital di Negara-negara miskin
tersebut. Mereka menemukan bahwa 80% perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara
adalah disebabkan oleh faktor modal fisik dan modal manusia, sedangkan 20% lagi
sisanya karena faktor-faktor lain.
Aglomerasi
Selama
seratus tahun lebih, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para
ahli strategi bisnis, ilmuan regional, dan para ilmuan sosial lainnya telah
mencoba memberikan penjelasan tentang “mengapa” dan “dimana” aktivitas ekonomi
berlokasi. Ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi secara regional dalam satu
negara telah menjadi perhatian utama. Inilah yang mendorong dilakukannya banyak
penelitian dalam bidang ini (Kuncoro, 2002).
Industri
cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah
tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi
perusahaan yang saling berdekatan. Kota umumnya menawarkan berbagai kelebihan
dalam bentuk produktifitas dan pendapatan yang lebih tinggi, menarik investasi baru,
teknologi baru, pekerja terdidik dan terampil dalam jumlah yang jauh lebih
tinggi dibanding perdesaan (Malecki, 1991).
Persebaran
sumberdaya yang tidak merata menimbulkan disparitas dalam laju pertumbuhan
ekonomi antar daerah. Ketidakmerataan sumber daya ini tercermin pada konsentrasi
kegiatan ekonomi yang terjadi pada daerah tertentu saja. Daerah-daerah dimana
konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi
aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh
Bradley and Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan
dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya ekonomi
aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan
ekonomi. Sebagai akibatnya daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada
umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
yang bukan aglomerasi.
Mutu SDM dan Aglomerasi dalam
Pertumbuhan Ekonomi
Pendekatan
tentang pengaruh faktor mutu sumber daya manusia terhadap tingkat pertumbuhan
ekonomi bisa dilakukan dengan pendekatan teori Neo-Klasik. Dalam analisis
Neo-Klasik faktor pertumbuhan ekonomi adalah modal/kapital, tenaga kerja, dan teknologi.
Karena mutu sumber daya manusia dan Aglomerasi akan mempengaruhi tingkat rasio
kapital per tenaga kerja yang pada akhirnya akan mempengaruhi output yang
dihasilkan, maka mutu sumber daya manusia dan aglomerasi dapat diasumsikan sebagai
tingkat teknologi dalam persamaan diatas.
Dalam
analisis Neo Klasik, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung dari faktor Kapital,
Tenaga Kerja dan Tingkat Teknologi yang digunakan.
Y = A(t)
F (K, N)
Dimana Y
adalah output, A adalah tingkat teknologi, K adalah Kapital dan N adalah tenaga
kerja.
Kita
mengenal tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu: (1) kemajuan teknologi yang
bersifat netral (neutral technological progress), yaitu teknologi yang memungkinkan
kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan
kombinasi faktor input yang sama. Inovasi yang sederhana seperti pengolompokan
tenaga kerja (semacam spesialisasi) yang dapat mendorong peningkatan output,
adalah contohnya. (2) kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor‐saving technological progress), yaitu kemajuan teknologi yang memungkinkan memperoleh
output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja yang sama. (3) kemajuan
teknologi yang hemat modal (capital‐saving
technological progress), yaitu kemajuan
teknologi yang memungkinkan memperoleh output yang lebih tinggi dari jumlah
modal yang sama.
RUJUKAN
- Ardito Bninadi. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dan Luar Jawa.Ekonomi Pembangunan. Vol.8 No.1, Juni 2003, hlm: 39-48
- Boediono. 1982. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
- Bradley, Rebecca and Gans, Joshua S. 1996. Growth in Australian Cities, The Economic Record, The Economic Society of Australia, Vol 74 (226)
- Deliarnov, 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
- Didik J. Rachbini. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Grasindo
- Dronbusch, Fischer, Startz. 2004. Makroekonomi. Jakarta: PT. Media Global Edukasi
- Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics, 4th Ed. Singapore: McGraw-Hill International Edition
- Guritno Mangkoesoebroto. 1993. Ekonomi Publik. Ed. 3, Yogyakarta: BPFE
- Lincolin Arsyad. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah,Ed.2, Yogyakarta: BPFE
- Malecki.1991. Technology and Economic Development: The Dinamics of Lokal, Regional and Natural Change, New York: John Wiley &Sonc, INC
- Mankiw, Gregory. 2003. makroekonomi, Ed. 5, Jakarta: Erlangga
- Meier, G.M. 1995. Leading Issue in Economic Development. 6th Ed, New York:Oxford University Press
- Moeljarto T. 1995. Politik Pembangunan: Sebuah Analisis, Konsep, Arah danStrategi. Yogyakarta: Tiara Wacana
- Mudrajad Kuncoro. 2001. Metode Kuantitatif: Teori Dan Aplikasi Untuk Bisnis Dan Ekonomi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- _________. 2002. Analisis spasial dan regional, studi aglomerasidan klusterindustri indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
- Nasyith Majidi, 1997. Anggaran Pembangunan dan Ketimpangan Ekonomi AntarDaerah, PRISMA, LPFE-UI
- Paul Sihotang. 2001. Pengantar Perekonomian Regional. Jakarta: LPFE-UI
- Payaman J. Simanjuntak. 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Ed. 2. Jakarta: LPFE-UI
- Richard T. Froyen, 2002. Macroeconomic: Theories and Policies. 7th Ed, NewYork: Prentice Hall International, Inc
- Suahazil Nazara. 1994. Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia, SuatuAplikasi Fungsi Produksi Agregat Indonesia tahun 1985-1991. Bisnis danEkonomi. Vol. 7 No.5
- Sadono Sukirno. 2002. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Ed.2, Jakarta: Rajawali Pers
- Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D.1996. Makroekonomi. Ed.11,Jakarta: Erlangga
- Soelistyo, Sudarsono dan A. Sudarman. 1981. Prospek Kesempatan Kerja danPemerataan Pendapatan dalam Repelita III, dalam Thee Kian Wie (Ed.),Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Lembaga Peneliti, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1981, hlm: 53-77
- Sutarno dan Mudrajad Kuncoro. 2003. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Kecamatan di Kabupaten Banyumas 1993-2000, Jurnal EkonomiPembangunan, Vol 8 No. 2, Desember 2003, hlm: 97-100
- Todaro, M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ed.7, Jakarta: Erlangga
- Yuwono Prawisetoto, 2002, Desentralisasi Fiskal Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol 2 Agustus, hlm: 132-143.