Format
bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi di USA dan UK
(Mandelsohn, 1995: 69). Pemberian ijin franchisor kepada franchisee untuk
mengembangkan bisnis menggunakan mereknya. Pada dasarnya franchisor
menyediakan proses managerial kepada franchisor untuk menjalankan bisnis sesuai
dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001 : 86). Sistem franchise tidak hanya
sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur relationship
yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve
dalam Tikoo, 2005: 331).
Hubungan
antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik.
Dari hasil penelitian Tikoo (2005: 329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman
dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan
franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disesbabkan oleh asimetri
distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000: 354).
Aspek
konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor dan
franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh
ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan
negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee
tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik
adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 arah antara franchisor dengan
franchisee (Tikoo, 2005: 329) misal menggunakan pertukaran informasi
(information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain)
atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam
mempengaruhi franchisee.
Dimensi
dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah information exchange,
recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas (Tikoo, 2005:
329). Menurut Johnsin (1999: 4-18) kualitas hubungan digambarkan sebagai
kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga
yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan
hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada
beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas
hubungan dalam jaringa franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik,
kekeluargaan, kerjasama. (Dant and Schul, 1992; Cox, 1995; Dahlstrom and
Nygaard, 1995; Mehta, 1999; Bordonaba Juste and Polo Redondo, 2002a, b; García
Rodríguez et al., 2004 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585).
Sehingga
merupakan suatu hal yang penting mengukur kualitas hubungan antara franchisor
dengan franchisee untuk menetapkan kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan
bahwa bukan hanya dalam network patner tapi dalam kinerja penjualan.
a. Kepercayaan
Kepercayaan
adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama (Dwyer et al., 1987;
Ganesan, 1994; Mohr and Spekman, 1994; Morgan and Hunt, 1994; Gundlach et al.,
1995; Varadarajan and Cunningham, 1995; Jap, 1999 dalam Monroy dan Alzola,
2005: 585). Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen
berbeda yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan) (Monroy dan
Alzola, 2005: 585).
Kredibilitas
mengacu pada perluasan dimana 1 partner mempercayai bahwa partner lain memiliki
kacakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence
berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena
memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
b. Komitmen
Beberapa
peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial dalam kesuksesan
hubungan (Dwyer etaL, 1987; Ganesan, 1994; Mohr and Spekman, 1994; Morgan and
Hunt, 1994; Gundlach et al., 1995; Varadarajan and Cunningham, 1995; Andaleeb,
1996; Geyskens etaL, 1996; Jap, 1999 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585).
Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurang potensi
ketertarikan alternative ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit.
Geyskens
(1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585) menyatakan bahwa perbedaan antara
komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam
hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan
keinginan untuk meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam
mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif meneruskan
hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa
memiliki. Namun sebaliknya komitmen kalkulatif merupakan komitmen yang
berdasarkan pada perluasan partner yang menerima kebutuhan dalam menjaga
hubungan yang mengacu pada perpindahan biaya yang ditinggalkan. Yang
menghasilkan perhitungan antara biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi
yang dibuat dalam sebuah hubungan.
c. Relasionalism (rasa
kekeluargaan)
Realsionalism
dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang
mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada kenyataannya
mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan
standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian
konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah
flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.
Dimensi kualitas Hubungan
Kepercayaan
Komitmen afektif
Komitmen kalkulatif
Kekeluargaan
RUJUKAN
- Baron, S. and Schmidt, R., 1991. “Operational aspects of retail franchises”. International Journal of Retail and Distribution Management, 19 (2), 13-19.
- Grunhagen, Mittelstaedt, 2005, “Entrepreneur or Investor : Do Multi- Unit Franchisees Have Different Philosophical Orientation?”, Journal Of Small Business Management, Vol43 pg. 207.
- Greenbaum,2006, “Creating Dynamic Brand awareness”, Franchising World, Vol.38 Pg. 46.
- Hoffman, R. C., and Preble, J. F., 1991. “Franchising : Selecting a Strategy for Rapid Growth” Long Range Planning, 24 (4), 74-85.
- Hopkin, Scott, 1999, ‘Franchise Relationship Quality: Microeconomic Explanations”, European Journal of Marketing, Vol.33 p.827.
- Kaufmann, P. J., and Stanworth, J. (1995). “The Decision to Purchase a Franchise: A Study of Prospective Franchisees”. Journal of Small Business Management, October, 22-31.
- Keller, K. L. 1993. “Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer-based Brand Equity”. Journal of Marketing, 57 (January), 1-22.
- Keller, K. L. (1998). Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
- Morrison, 1997, How Franchise Job satisfaction and personality affects Performance, organizational commitment, Franchisor Relations, and Intention To Remain, Vol.35,pg.39.
- Monroy dan Alzola, 2005, An analysis of Quality Management in Franchise Systems, European Journal Of Marketing Vol.39 p.585.
- Peterson, A. and Dant, R. (1990). Perceived Advantages of the Franchise Option from the Franchisees Perceptive: Empirical Insights from a Service Franchise. Journal of Small Business Management, 28 (July), 46-61.
- Pitt dan Napoli, 2003, Managing The franchised Brand : The Franchisees’perspective, Journal Of Brand Management, Vol. 10 p.411.
- Tikoo, Surinder, 2005, “Franchisor use of Influence and Conflict in Business format Francvhise System”, International Journal Of Retail &Distribution Management, Vol.33 pg.329.