Ads 468x60px

.

Friday 18 November 2011

KUALITAS HUBUNGAN FRANCHISE


Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi di USA dan UK (Mandelsohn, 1995: 69). Pemberian ijin franchisor kepada franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakan mereknya. Pada dasarnya franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisor untuk menjalankan bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001 : 86). Sistem franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005: 331).
Hubungan antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik. Dari hasil penelitian Tikoo (2005: 329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disesbabkan oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000: 354).
Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 arah antara franchisor dengan franchisee (Tikoo, 2005: 329) misal menggunakan pertukaran informasi (information exchange), kesanggupan (promise), pengendalian diri (restrain) atas penekanan sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi franchisee.
Dimensi dari hubungan baik antara franchisor dan franchisor adalah information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas (Tikoo, 2005: 329). Menurut Johnsin (1999: 4-18) kualitas hubungan digambarkan sebagai kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Ada juga yang menyatakan kualitas hubungan sebagai evaluasi menyeluruh dari kekuatan hubungan (Smit, 1998; Garbarino dan Johnson, 1999). Dalam dunia franchise ada beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas hubungan dalam jaringa franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik, kekeluargaan, kerjasama. (Dant and Schul, 1992; Cox, 1995; Dahlstrom and Nygaard, 1995; Mehta, 1999; Bordonaba Juste and Polo Redondo, 2002a, b; García Rodríguez et al., 2004 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585).
Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network patner tapi dalam kinerja penjualan.
a. Kepercayaan
Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama (Dwyer et al., 1987; Ganesan, 1994; Mohr and Spekman, 1994; Morgan and Hunt, 1994; Gundlach et al., 1995; Varadarajan and Cunningham, 1995; Jap, 1999 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585). Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan) (Monroy dan Alzola, 2005: 585).
Kredibilitas mengacu pada perluasan dimana 1 partner mempercayai bahwa partner lain memiliki kacakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
b. Komitmen
Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial dalam kesuksesan hubungan (Dwyer etaL, 1987; Ganesan, 1994; Mohr and Spekman, 1994; Morgan and Hunt, 1994; Gundlach et al., 1995; Varadarajan and Cunningham, 1995; Andaleeb, 1996; Geyskens etaL, 1996; Jap, 1999 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585). Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurang potensi ketertarikan alternative ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit.
Geyskens (1996 dalam Monroy dan Alzola, 2005: 585) menyatakan bahwa perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada perpindahan biaya yang ditinggalkan. Yang menghasilkan perhitungan antara biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah hubungan.
c. Relasionalism (rasa kekeluargaan)
Realsionalism dapat disebut sebagai kerjasama sosial yang mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku patner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik.

Dimensi kualitas Hubungan
Kepercayaan
Komitmen afektif
Komitmen kalkulatif
Kekeluargaan

RUJUKAN
  1. Baron, S. and Schmidt, R., 1991. “Operational aspects of retail franchises”. International Journal of Retail and Distribution Management, 19 (2), 13-19.
  2. Grunhagen, Mittelstaedt, 2005, “Entrepreneur or Investor : Do Multi- Unit Franchisees Have Different Philosophical Orientation?”, Journal Of Small Business Management, Vol43 pg. 207.
  3. Greenbaum,2006, “Creating Dynamic Brand awareness”, Franchising World, Vol.38 Pg. 46.
  4. Hoffman, R. C., and Preble, J. F., 1991. “Franchising : Selecting a Strategy for Rapid Growth” Long Range Planning, 24 (4), 74-85.
  5. Hopkin, Scott, 1999, ‘Franchise Relationship Quality: Microeconomic Explanations”, European Journal of Marketing, Vol.33 p.827.
  6. Kaufmann, P. J., and Stanworth, J. (1995). “The Decision to Purchase a Franchise: A Study of Prospective Franchisees”. Journal of Small Business Management, October, 22-31.
  7. Keller, K. L. 1993. “Conceptualizing, Measuring, and Managing Customer-based Brand Equity”. Journal of Marketing, 57 (January), 1-22.
  8. Keller, K. L. (1998). Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  9. Morrison, 1997, How Franchise Job satisfaction and personality affects Performance, organizational commitment, Franchisor Relations, and Intention To Remain, Vol.35,pg.39.
  10. Monroy dan Alzola, 2005, An analysis of Quality Management in Franchise Systems, European Journal Of Marketing Vol.39 p.585.
  11. Peterson, A. and Dant, R. (1990). Perceived Advantages of the Franchise Option from the Franchisees Perceptive: Empirical Insights from a Service Franchise. Journal of Small Business Management, 28 (July), 46-61.
  12. Pitt dan Napoli, 2003, Managing The franchised Brand : The Franchisees’perspective, Journal Of Brand Management, Vol. 10 p.411.
  13. Tikoo, Surinder, 2005, “Franchisor use of Influence and Conflict in Business format Francvhise System”, International Journal Of Retail &Distribution Management, Vol.33 pg.329.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

ARTIKEL TERKAIT